PG Djatiroto, dari Wilhelmina ke Megawati
RENCANA kunjungan Presiden Megawati Soekarnoputri ke PG Djatiroto di Jawa Timur cukup mengejutkan. Terutama bagi mereka yang berkecimpung dalam industri gula. Ini merupakan kunjungan pertama ke pabrik gula bagi seorang wanita yang pertama menjabat Presiden RI.
MASIH segar dalam ingatan terjadinya tuntutan keras masyarakat pergulaan agar pemerintah memusnahkan 162 kontainer gula selundupan. Sekitar 5.000 petani dan karyawan perkebunan gula juga masih berdemo menjelang dilaksanakannya pemusnahan 3.450 ton gula haram tersebut di Pulau Laki, Kepulauan Seribu.
Selain itu "kemelut" industri gula kita juga masih belum terbenahi tuntas. Salah satu indikatornya, sasaran produksi nasional tahun 2002 dan 2003 yang masing-masing diproyeksikan mencapai 1,89 juta ton dan 2,07 juta ton tidak tercapai. Jika tahap-tahap sasaran produksi tahunan yang ditentukan dalam Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional 2002-2007 Departemen Pertanian tersebut sulit direalisasikan, mungkin saja tahun 2007 Indonesia juga belum bisa berswasembada gula.
Dalam kaitan itu kunjungan Presiden Megawati ke PG Djatiroto tanggal 14 Mei 2004, yang bertepatan dengan pembukaan masa giling tahun ini, mengandung banyak arti. Terasa perhatian pemerintah terhadap industri gula nasional semakin serius. Hal itu memunculkan harapan agar pemerintah segera menentukan kebijakan yang jelas tentang industri gula nasional. Dan banyak hal bisa dicontoh dari pengelolaan PG Djatiroto untuk memacu perkembangan industri gula.
Ditentukannya PG Djatiroto sebagai obyek kunjungan Presiden rasanya memang merupakan pilihan yang tepat. Keragaan PG ini menduduki peringkat teratas dari 17 PG yang bernaung di bawah PTPN XI (PT Perkebunan Nusantara XI). Provinsi Jawa Timur yang menjadi wilayah kerja 33 PG dari 57 PG di Pulau Jawa selama ini menyumbang sekitar 50 persen produksi gula nasional. Dan Menteri Pertanian Bungaran Saragih dalam kunjungan kerja ke PG ini pertengahan September 2003 mencanangkan program swasembada gula pada tahun 2007 melalui akselerasi peningkatan produktivitas.
Baiknya keragaan PG Djatiroto tidak terlepas dari infrastruktur yang sangat menunjangnya. PG ini memiliki lahan hak guna usaha (HGU) lebih dari 6.000 hektar, di antaranya tanah sawah seluas 4.511 hektar. Tanah HGU inilah yang menopang PG dalam memenuhi kebutuhan bahan baku (tebu) sehingga pengaturan masa gilingnya bisa dilakukan dengan baik. Ditutupnya beberapa PG di Jawa terutama disebabkan kekurangan bahan baku karena mengandalkan pada pasokan tebu rakyat yang jumlahnya setiap tahun sangat fluktuatif.
Menurut Sekretaris Perusahaan PTPN XI Adig Suwandi, agar kebutuhan tebunya bisa terpenuhi, PG harus mengelola sendiri paling tidak 40 persen lahan tanamannya.
LOKASI PG Djatiroto memang ideal. Iklimnya sangat cocok untuk tanaman tebu, suhu udara 25-27 derajat Celsius dengan kelembaban udara 70-83 persen. Lama penyinaran matahari 40-80 persen, tipe iklim C dan D dengan curah hujan 1.860 milimeter per tahun.
Kondisi alam yang cocok untuk perkebunan tebu tersebut masih ditunjang dengan sistem pengairan yang baik dan debit air yang mencukupi. Saluran primer pengairan yang dibangun pada zaman Belanda dulu adalah Saluran Bondoyudo yang sebagian sejajar dengan jalan poros Lumajang-Jember dan ratusan kilometer jaringan sekunder serta tertiernya. Kebutuhan air bersih untuk giling dan keperluan lainnya juga tercukupi dari sumber yang dikenal sebagai Bron Gebouw di Desa Jatiroto Lor, kira-kira lima kilometer sebelah utara lokasi PG.
Rupanya pembangunan PG Djatiroto juga sudah diselaraskan dengan masalah perhubungan dan transportasi. Bangunan PG hanya sekitar satu kilometer di samping jalan poros Surabaya-Probolinggo–Lumajang–Jember–Banyuwangi. Rel kereta api juga melintasi kawasan PG ini. Kondisi medan yang nyaris seluruhnya rata memungkinkan dibangunnya jaringan lori pengangkut tebu hampir di seluruh areal HGU.
"Semua infrastruktur mendukung operasional pabrik dan dana juga tersedia," kata Administratur PG Djatiroto Ir H Soejitno MIM. Namun, ia mengakui keragaan PG masih bisa ditingkatkan. Strategi pengelolaan PG sudah lepas dari tahap penyelamatan (2002-2003) dan saat ini berada pada tahap penyehatan (2003-2004). Berikutnya adalah tahap pemantapan (2004-2005) dan tahap pengembangan (2005-2007). Strategi tersebut selaras dengan program pemerintah tentang peningkatan produktivitas gula tahun 2002-2007.
Jika tahun 2003 produktivitas lahan PG Djatiroto baru mencapai rata-rata 5,89 ton hablur per hektar, tahun 2007 diharapkan meningkat menjadi 7,2 ton hablur per hektar. Sasaran produksi yang dirancang Departemen Pertanian untuk PG di Pulau Jawa, tahun 2003 sebesar 5,44 ton hablur per hektar dan tahun 2007 naik jadi 7,86 ton hablur per hektar. Terlihat bahwa realisasi produktivitas tahun 2003 PG Djatiroto sudah berada di atas target pemerintah, tetapi untuk tahun 2007 proyeksi pemerintah lebih tinggi 0,66 ton. Mungkin proyeksi Departemen Pertanian di atas terlalu ambisius atau PG Djatiroto yang terlalu hati-hati.
KEKUATAN PG Djatiroto dalam bahan baku (tebu) dari lahan HGU masih ditambah dengan tersedianya tanaman tebu rakyat sekitar 10.000 hektar di Kabupaten Lumajang. Kapasitas giling pabrik sebesar 7.000 TTH (ton tebu per hari) mendapat dukungan dari sekitar 3.000 karyawan pada saat pelaksanaan giling.
Jika kegiatan giling berhenti, jumlah karyawan menyusut tinggal 2.000 orang. Selama ini waktu giling hanya dilaksanakan sekitar enam bulan, biasanya dimulai bulan Mei dan berhenti pada bulan Oktober.
"Jika mungkin, saya ingin hanya giling selama empat bulan. Itu yang paling efisien," kata Administratur Soejitno.
Dari beberapa literatur disebutkan bahwa pada masa kejayaan industri gula dulu, waktu giling PG umumnya memang hanya sekitar empat bulan. Bahkan, beberapa PG hanya melakukannya selama tiga bulan. Masa giling yang panjang secara teoretis justru kurang menguntungkan karena sebagian tebu yang digiling awal belum mencapai tingkat kemasakan sehingga rendemennya kecil. Tebu yang digiling akhir pun rendemennya sudah turun karena melewati puncak kematangannya, dan mungkin juga sudah terkena hujan (bulan November-Desember).
KUNJUNGAN Presiden Megawati ke PG Djatiroto merupakan kunjungan kedua seorang wanita yang memegang kekuasaan negara. Saat berkuasa Ratu Wilhelmina pernah berkunjung ke sana sebagai ungkapan syukur karena pabrik gula memberikan keuntungan yang sangat besar, sekitar 20 persen setiap tahunnya, sehingga mampu menyelamatkan perekonomian Negeri Kincir Angin.
Kini Presiden Megawati berkunjung saat industri gula kita dilanda berbagai kesulitan. Rupanya dua wanita yang sama-sama berkuasa itu mengukir sejarah di PG Djatiroto, hanya pada waktu dan kondisi dunia pergulaan yang berbeda.
Karena itulah kunjungan Presiden Megawati memunculkan banyak harapan dan keinginan para pelaku industri gula.
"Semoga pemerintah segera meningkatkan SK Menperindag Nomor 643 menjadi keppres dan segera pula mengeluarkan perpu pemberantasan penyelundupan," ujar HM Arum Sabil, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) Wilayah kerja PTPN XI di Jatim.
"Petani tebu perlu arahan, bantuan, dan perlindungan. Hasil tanaman tebu sangat kecil dibandingkan dengan zaman koperasi Petermas dulu," kata Haji M Abdullah, tokoh pergulaan di Gondanglegi, Kabupaten Malang. Harapan serupa dilontarkan Suja’i di wilayah kerja PG Pesantren Kediri dan beberapa tokoh petani di kawasan Madiun. Semua daerah itu adalah pusat tebu di Jatim.
Mudah-mudahan harapan mereka terpenuhi sehingga Indonesia yang dulu dikenal sebagai pengekspor gula ini bisa kembali meraih kejayaannya. (JA NOERTJAHYO, Wartawan)